1,87 Juta Warga Jabar Menganggur, Susah Cari Kerja ?
Sebuah artikel media online menginformasikan, bahwa menurut Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) di Jawa Barat saat ini jumlah pengangguran terbuka mencapai 1,86 juta, bisa jadi anda salah satunya jika sampai saat ini anda belum memiliki pekerjaan.
Dan itu baru yang tercatat secara resmi saja, kemungkinan yang tidak terdata jauh lebih banyak. Sebagai warga Jabar penulis, melihat sendiri fakta bahwa saat ini begitu sulit mendapatkan pekerjaan, jangankan berharap bisa mendapat pekerjaan dengan upah yang ideal. Pekerjaan yang notabene kurang memperhatikan hak pekerja saja, sekarang sudah sulit.
Pantaslah bila jumlah pengangguran terus bertambah, mirisnya lagi yang sulit mencari pekerjaan bukan hanya dari kalangan masyarakat biasa, lulusan dari jenjang pendidikan yang pas – pasan. Jebolan, perguruan tinggi pun saat ini sulit mencari kerja.
Saat disingung sektor apa saja yang dapat menyerap angka pengangguran di Jabar, pemerintah menyebut ” sektor formal dan informal yaitu berupa industri mandiri dan industri kreatif ( UMKM )”.
Memang bukan kali pertama pemerintah menjadikan UMKM sebagai sektor pengerak ekonomi, seperti jargon yang sempat terdengar tahu yaitu ” UMKM melejit ekonomi bangkit”.
Tidak keliru jika UMKM, menjadi salah satu jalan untuk menumbuhkan sektor ekonomi. Namun, jika UMKM dijadikan sebagai satu – satunya tumpuan untuk melejitkan ekonomi negeri ini, penulis berpendapat terlalu berlebihan.
Karena, pada faktanya UMKM hanyalah bagian kecil perekonomian. UMKM, bukanlah sektor strategis yang seharusnya dijadikan salah satu penopang ekonomi apalagi melejitkan ekonomi negara. Contohnya, ketika UMKM masuk pasar digital, posisi pelaku UMKM hanyalah pemanfaat e-commerce, sementara penyedia pasar digital tetap ada di tangan para pemilik modal/kapitalis yang menguasai teknologinya.
Penulis khawatir, dorongan kuat pemerintah agar UMKM makin berkembang tidak lain dijadikan sebagai kamuflase berlepas tangannya negara sebagai penanggung jawab dan pengurus rakyat. Hak ini berkebalikan dengan fakta, bahwa kebijakan negara seringkali berpihak pada kepentingan kapitalis. Misalnya saja, pada pengesahan UU Omnibus Law yang merugikan buruh.
Disisi lain, negara sangat mudah mengobral dan menjual kekayaan alam rakyat kepada swasta/asing dengan privatisasi dan liberalisasi, padahal pengelolaan SDA adalah bagian dari ekonomi hulu dan sektor strategis. Padahal jika saja negara mengelola SDA secara mandiri, jumlah tenaga kerja yang terserap pasti jauh lebih besar ketimbang sekadar menjadi pelaku atau pekerja UMKM.
Inilah, sekelumit fakta di negeri ini yang tidak bisa dinafikan. Permasalahan yang dihadapi seperti pengangguran acapkali menemui jalan buntu, jika pun ada solusi yang dihadirkan masih sering jauh panggang dari api.
Padahal Islam sudah sejak lama mempunyai sistem ekonomi yang khas, jauh berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang diadopsi oleh kebanyakan negeri – negeri kaum muslimin saat ini.
Negara dalam sistem pemerintahan Islam, tidak akan menjadikan sektor ekonomi informal seperti UMKM sebagai pilar perekonomian. Dalam memenuhi kebutuhan ekonomi rakyatnya, negara akan berpegang pada prinsip kemandirian. Prinsip ini, dapat digambarkan dalam poin – poin berikut.
Pertama, negara mengedepankan dua jenis industri yang membuatnya menjadi negara mandiri dan berdikari. Yakni, industri berat dan industri terkait pengelolaan harta milik umum. Industri berat, ialah industri yang memproduksi mesin atau alat persenjataan, seperti senjata kimia, biologi, juga obat – obatan. Sedangkan industri pengelolaan harta milik umum, semisal pengolahan minyak bumi, barang tambang, listrik, logam dan apa saja yang menjadi harta milik rakyat. Dengan kehadiran dua industri ini, sudah cukup mampu menyerap tenaga kerja rakyat dalam jumlah yang sangat besar.
Kedua, mengatur status kepemilikan harta. Seperti harta milik individu, umum dan negara. Secara khusus, negara melarang harta milik umum dimiliki individu atau swasta. Negaralah, pihak yang berhak mengelolanya dan mengembalikan hasil pengelolaan tersebut kepada rakyat.
Ketiga, negara menyediakan modal usaha dari kas baitulmal bagi rakyat yang belum bekerja. “Bisa berupa pemberian sebidang tanah mati ataupun pinjaman tanpa riba”. Bagi mereka yang tidak mampu bekerja atau tidak ada keluarga yang mampu menafkahinya, semisal cacat, tua renta atau janda, negara menafkahi kebutuhannya secara langsung.
Keempat, menghilangkan budaya konsumtif dan hedonis dengan pola hidup sehat, sederhana dan secukupnya. Dengan pola hidup yang sesuai standar Islam, produktivitas masyarakat lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder. Mereka yang berlebih hartanya akan terdorong bersedekah dan berinfak kepada yang kurang mampu. Sehingga, harta tidak beredar pada golongan orang kaya saja.
Demikianlah, pilar perekonomian dalam Islam adalah sektor riil yang ditopang oleh industri berat dan industri pengelolaan SDA. Prinsip – prinsip tersebut, tidak akan berjalan tanpa penerapan sistem Islam yang komprehensif dan menyeluruh.